Membaca Mantra Organic
*Sugi Lanus
‘Organic’ thinking is thinking based on the perception of wholeness of people, relationships, and of the earth itself. It is thinking that seeks to join together and to unify, rather than to break things down into discrete parts. ‘Organic’ thinking looks at life as a series of smaller wholes within larger wholes. It forms the foundation for a life in which nothing is separate. – Julie Redstone, ORGANIC MIND AND BINARY MIND
Mantra adalah produk garis panjang tradisi manusia Bali yang menekuni jalan seni sebagai pilihan hidup. Ayahnya pelukis ternama Bapak Pengsong, seorang pelukis Bali di Lombok yang ternama. Dari garis ayahnya ia punya silsilah panjang, yang bisa dirunut sampai abad ke abad 16, ketika para bangsawan Kerajaan Gelgel dan Amlapura, beserta bala tentara dan seniman, bermigrasi ke Lombok Barat. Dari komunitas Bali di Lombok, Mantra menyerap nuasa estetik Bali, di tengah kecenderung ekslusif masyarakat Balok (Bali-Lombok) untuk untuk mempertahankan garis tradisi dan agama.
Dari kecil Mantra menyerap secara visual kehidupan ayahnya, seorang pelukis dan sekaligus guru seni. Ayahnya adalah guru gambarnya yang pertama. Karena ibunya yang berasal dari Ubud, salah satu desa seni di Bali, Mantra juga memiliki kanal untuk bersentuhan dengan dunia kesenian tradisi di Ubud, baik musik dan visual. Di masa liburan sekolah, Mantra sering ke Bali.
Dari rumah yang memberinya akar kesenian tradisi Hindu Bali, dan dari dunia lukis semi-tradisional yang disuguhkan ayahnya itu, Mantra melanjutkan ke sekolah seni di Batu Bulan, Gianyar-Bali, bersama sepupunya (dari garis ibu) Pande Ketut Taman, seorang pelukis muda Indonesia yang kini namanya sangat dipertimbangkan dalam peta dunia lukis Indonesia.
Mantra menguasai teknik lukisan klasik dan drawingnya dengan mahir. Sebelum masuk sekolah seni formal, kelas 4 SD ia telah memenangkan lomba gambar dan mewakili NTB untuk berlomba di tingkat nasional. Disana ia mendapat mengakuan nasional. Karya-karya awal mantra ketika masih siswa di sekolah seni, dengan mengekplorasi teknik lukisan klasik Bali dan tema-tema tradisi seperti Legong dan Barong, terlihat sangat kuat. Namun ia tak berhenti di sana, ia bergerak dari kemampuan teknik lukis tradisional dan drawing ini ke cara ekspresi personal yang dia terus rumuskan.
Dari segi akustikal, Mantra berkemampuan memainkan instrumen gambelan klasik Bali. Ia bahkan punya seperangkat gambelan di studio musiknya. Tapi ia, sekali lagi, tidak berhenti di sana. Ia beralih memainkan gitar elektronik, synthesizer , dan musik yang diaransemen sendiri dengan komputer. Main gitar, merekam dan mementaskan musik perpaduan instrumen klasik dan modern, adalah pekerjaan sehari-harinya di studio musik di rumahnya. Rumahnya telah berubah menjadi salah satu tempat mangkal para pemusik, dari kalangan pelajar hingga pemusik tua.
Seperti rumah mantra yang terbelah menjadi dua, di bagian depan studio lukis dan belakang studio musik; dalam diri mantra, gairah akustikal dan visual ini berebut-rebutan. Saling berbagi ruang dan menjadi dua pintu energi kreatif mantra.
Mantra mengemari perangkat solfware dan website. Ia mendesign website dan seni grafis yang berbasis kemampuan memahami dan mengoprasikan komputer, plus memerlukan selera estetik. Ratusan bahkan mungkin ribuan karya grafis di laptopnya memenuhi sudut memori komputernya. Ia banyak membantu kenalannya merancang website dan poster, spanduk, baliho, hingga kartu undangan pernikahan. Ia “mempaten diri” dalam nama domain website-nya: www.mantradigital.com Dari sini tampak jelas “nafsu kreatif”-nya untuk merambah dunia digital.
Kalau ia tidak awas membagi waktu antara melukis, main musik (recording), dan “bermain komputer”, kemampuan dan pencapaian estetiknya yang telah ia raih bisa terancam mengalami selisih waktu (time conflicting). Ketakhadirannya beberapa tahun terakhir dalam dunia seni rupa Indonesia bisa jadi karena kesibukannya melayani banyaknya bakat dan kemampuan yang ia kuasai.
Dua tahun terakhir tampaknya Mantra berhasil mengurai dan mendamaikan semua muara dan pintu-pintu kreatif itu menuju sebuah “perumusan estetik”: ORGANIC!
Warisan dari tradisi Bali – mitos dan ritual, agama dan tradisi – ia telusuri secara filosofi dan rumuskan, dan Mantra pada titik kesadaran bahwa YOGA mewakili aspek visual garis tradisi itu. Energi akustikal yang dia serap, ia temukan “perwakilan figuratif”-nya pada sosok JIMMY HENDRIX. Yoga adalah trend yang berakar pada teknologi ruhani (“pengetahuan tradisional”) ribuan tahun ke belakang di tanah India. Jimi Hendrix di satu sisi menjadi icon “pengetahuan urban”, ia merayap di tengah pencarian dirinya yang “urban” (untuk pengganti kata “modern”), mempelajari dan mengasah skill-nya secara otodikak. Ia simbol pencapaian anak kota Amerika. Ia urban dan mampu mengkristalkan dirinya menjadi “sesuatu” dan “seseorang”. “Pengetahuan urban” dan “pengetahuan tradisional” adalah dua sayap yang bisa dipersatukan secara Organic. Ia bukan sayap kiri atau kanan yang harus beroposisi, Mantra mendamaikan yang akustikal-urban (Jimi Hendrix) dengan yang visual-tradisional (Yoga) dengan cara mengeluarkannya dari dua kotak itu dengan “cara pikir organic”.
Mantra lewat pengalian ini, pertama-tama berdamai dengan seluruh energi dan bakat kreatifnya (visual-akustikal, tradisional-urban, yoga-hendrix), untuk dipersatukan dalam cara pikir yang tak terbelah (non-dichotomic). Ia keluar dari kerja kreatif yang berbasis binary mind (kiri-kanan dan dikotomi pikiran), menuju pembebasan diri ke proses kreatif dengan organic mind. Ia dengan gigih mempertemukan semua energi kreatifnya secara cohesif dan membebasakan diri dari terinterupsi dikotomi.
Mantra, lewat karya-karyanya di phase ini, seperti bandulan jam di keheningan malam, menggelayut kiri-kanan, tidak membentur tapi berhitung dengan dirinya.
*Sugi LANUS adalah peneliti budaya Bali yang secara intense mengikuti proses kreatif Mantra selama 5 tahun terakhir.